MARHAENISME ADALAH BAGIAN DARI PANCA
AZIMAT
Memahami ajaran Bung Karno, ternyata
tidak semudah memahami ajaran ilmu politik, ilmu ekonomi, atau ilmu-ilmu
lainnya, yang masing-masing mempunyai standard. Seperti diakui Bung Karno
sendiri di hadapan utusan PNI Osa Maliki tahun 1966, bahwa Ajaran Bung Karno
itu, selain apa yang ditulis, apa yang diucapkan, juga apa yang dilakukan, dan
malahan ‘diamku’ yang termasuk bagian dari ajaran Bung Karno.
Salah satu ajaran Bung Karno yang
spektakuler mengenai ‘diamKu’ adalah ketika pada tahun1945, kelompok
Hatta-Syarir membikin Badan Pekerja KNIP sebagai lembaga Legislatif yang
melalui Maklumat X, dengan cabinet bertanggungjawab kepada KNIP. Walau
kebijaksanaan kedua tokoh ini, menurut ben Anderson dalam buku revolusi Pemuda,
adalah ‘kudeta diam-diam’, akan tetapi Bung Karno ‘diam seribu bahasa’ tanpa
memberikan reaksi.
Kebijakan ‘diamKu’ ini sungguh
sangat besar nilainya bagi sejarah Republik Indonesia. Sebab apabila Bung Karno
melakukan reaksi ‘tidak setuju’, maka akan pasti terjadi konflik politik
ditingkat paling atas, pada saat revolusi baru berjalan beberapa hari. Artinya,
disini Bung Karno mengajarkan kepada bangsa “ diam tanpa reaksi terhadap suatu
kekeliruan, demi utuhnya kepemimpinan nasional “, pada saat musuh (Belanda)
berada di depan garis pertahanan.
Sikap seperti ini juga berlaku
kembali di tahun 1965, ketika Bung Karno mendeklarasikan ajarannya dengan
“Panca Azimat Revolusi”, yang di dalam lima aziamt itu tidak termasuk
marhaenisme. Pidato 17 Agustus 1965, yang merupakan pidato terakhir Bung Karno
dalam posisi merdeka, diutarakan ajaran beliau, dengan kalimat:
“Aku berdo’a, Ya Allah ya Robbi,
moga-moga gagasanku, ajaran-ajaranku yang kini tersimpul dalam lima azimat,
gagasan-gagasanku, ajaran-ajaranku itu akan hidup seribu tahun lagi.
…..Panca Azimat adalah
pengejawantahan dari pada seluruh jiwa nasional kita, konsepsi nasional kita
yang terbentuk disepanjang sejarah 40 tahun lamanya. Azimat Nasakaomlah yang
lahir lebih dahulu dalam tahun 1926…..Azimat kedua adalah Azimat Pancasila yang
lahir bulan Juni 1945….Azimat ketiga adalah azimat Manipol/Usdek, yang baru
lahir setelah 14 tahun lamamnya mengalami masa republic Mereka…..Aziamt keempat
adalah azimat Trisakti yang baru lahir tahun yang lalu ……..azimat kelima adalah
azimat Berdikari, yang terutama tahun ini kucanangkan.”
Bagi orang-orang PNI, Pernyataan
Bung Karno seperti ini, bisa jadi dianggap kurang pas. Sebab dalam azimat tadi,
tdak menyebut Marhaenisme. Padahal secara ukuran waktu, Marhaenisme adalah ajaran
Bung KArno yang pertama ditemukan melalui Kang Marhaen di Cigalereng Tahun
1921. Dan memang Bung Karno dalam pernyataannya sering membikin orang-orang PNI
merasa tidak pas, seperti misalnya pidati 1 Juni 1945, pada bagian akhir
ungkapan Bung Karno mengatakan, bahwa kelima sila itu bisa diperas menjadi tiga
saja, yakni sosio nasionalisme, sosio –Demokrasi dan Ketuhanan yang Maha Esa.
Sementara sosio nasionalisme dan Sosio – Demokrasi, adalah formulasi dari
Marhaenisme. Dalam beberapa kesempatan Bung Karno selalu mengutarakan bahwa “ya
Marhaenisme, ya Pancasila adalah kerbau-kerbau satu kandang”.
Dan yang membuat orang-orang PNI
kesal , jika Bung Karno mengatakan, “yang tidak setuju kepada nasakom, berarti
tidak setuju kepada Pancasila, yang tidak setuju kepada Pancasila, tidak setuju
kepada Marhaenisme”, Ungkapan-ungkapan seperti ini, bagi banyak orang PNI
dinilai ‘memojokan orang PNI’.
Satu hal yang pantas dikagumi
terhadap orang-orang PNI, bahwa semua orang PNI merasa memiliki Negara republic
Indonesia. Perasaaan tidak sekedar sebagai warga Negara, akan tetapi merasa
sebagai ikut memiliki Negara. Rasa ikut memiliki Negara, bertolak dari anggapan
bahwa Bung Karno adalah ‘Bapak Marhaenisme’, yang sekaligus pendiri PNI,
kemudian sebagai Proklamator RI, dan menjadi Presiden pertama, dan ditetapkan
lagi menjadi presiden seumur hidup. (kemudian dibatalkan oleh A.H. Nasution
melalui Tap MPRS XVIII/1966). Perasaan ikut memiliki ini, berakar seperti
seorang anak yang merasa berhak atas kepemilikan bapaknya, jadi bernilai
feodalistik. Hubungan dengan Bung Karno, oleh sebagian orang PNI dianggap sudah
berkadar ‘perkoncoan’. Jadi tidak sekedar idiologis.
Namun ketika Bung Karno bicara di
kongres PNI tahun 1963 di Purwokerto menegaskan bahwa Marhaenisme ialah
Marxisme yang diterapkan dalam situasi dan sidang BPK PNI Bandung, April 1964
memutuskan “Marhaenisme ialah Marxisme yang diterapkan “ maka orang-orang PNI
pun pecah berantakan. Sebagian besar orang PNI membentuk PNI tandingan sambil
mendeskreditkan PNI lainnya sebagai ASU (ali Surachman) yang berbau Marxis.
Tapi kedua pihak tetap mengatakan sebagai pengikut ajaran Bung Karno.
Marhenisme memang tidak disebutkan
oleh Bung Karno di dalam Azimat . Akan tetapi jika uraian Bung Karno dalam
pidato 1 Juni 1945 tentang Marhaenisme, seperti
Dua dasar yang utama, kebangsaaan
dan internasionalisme, kebangsaan dan perikemanusiaan, saya peras menjadi satu’
itulah yang dahulu saya namakan sosio- nasionalisme. Dan Democrasi yang bukan
demokrasi barat, tetapi politiek economische democratie, yaitu politieke
democratie, dengan sociale rechtvaardigheid, demokrasi dengan kesejahteraan,
saya peraskan pula menjadi satu. Inilah yang dahulu saya namakan socio
democratie.”
Uraian ini bila ditambah dengan
Ketuhanan Yang Maha Esa, sudah sepenuhnya mempunyai makna yang sama dengan
Pancasila. Jadi ucapan Bung Karno “ Ya Pancasila, ya Marhaenisme adalah
kerbau-kerbau dari satu kandang “ adalah benar sepenuhnya.
Memang bisa menjadi pertanyaan, mengapa dalam Panca ajimat Bung Karno tidak memasukan Marhenisme. Saya menilai bahwa kebijaksanaan Bung Karno tidak menempatkan Marhaenisme di dalam panca azimat ialah karena Marhenisme itu sudah menjiwai keseluruhan panca azimat . bung Karno sangat arif untuk tidak menyebut marhaenisme sebagai sama dengan Panca Azimat , karena dua hal:
Memang bisa menjadi pertanyaan, mengapa dalam Panca ajimat Bung Karno tidak memasukan Marhenisme. Saya menilai bahwa kebijaksanaan Bung Karno tidak menempatkan Marhaenisme di dalam panca azimat ialah karena Marhenisme itu sudah menjiwai keseluruhan panca azimat . bung Karno sangat arif untuk tidak menyebut marhaenisme sebagai sama dengan Panca Azimat , karena dua hal:
- Jika Marhaenisme disebut sebagai sama dengan Panca Azimat, maka orang-orang PNI menjadi besar kepala, dan merasa sebagai TUAN pemilik Negara, padahal orang-orang PNI tidak menjalankan ajaran Bung Karno itu.
- Jika MArhaenisme disebut
sebagai ajaran dalam status Panca Azimat, hal itu akan menimbulkan
keengganan dari rakyat Indonesia yang non PNI, menerima ajaran Bung Karno.
Soalnya, bangsa Indonesia memang masih lebih banyak mengambil kesimpulan, bukan secara rasional, melainkan secara emosional.
Rakyat yang setuju kepada Ajaran
Bung Karno, akan tetapi jika hal itu mengharuskan mereka menjadi anggota PNI,
akan banyak yang keberatan. Sementara tanpa menyebut Marhaenisme, namun secara
hakiki paham itu sudah ada dalam panca Azimat.
Jika orang-orang PNI sadar bagaimana
arifnya Bung Karno memberi nama pada ajarannya, demi semua rakyat Indonesia
bersatu padu di dalamnya, mestinya orang-orang PNI sejak sekarang, tidak lagi
ngotot menyebut Marhaenisme, pada saat penggemblengan massa.
(https://gerakanrakyatmarhaen.wordpress.com/2011/03/03/ad-art/)
No comments:
Post a Comment